Perlahan kaki ini melangkah menyusuri jalan setapak menuju sebuah danau
kecil. Aroma tanah yang khas dengan tetesan air yang berasal dari ranting masih
tercium di indraku. Menambah perasaab haru dan semangat tuk segera sampai
dihadapnya. Senyumku kian melebar, tatkala mataku melihat seseorang yang selalu
menemaniku tengah duduk bersandar dibawah pohon dengan sesekali tangannya
melempar batu kedalam danau.
"hayo” ucapku berniat mengagetkannya
“kamu telat! Pelanginya udah sembunyi!” ucapnya sambil bersungut-sungut
dan mengerucutkan bibirnya dan dengan nada datar
“maaf
deh maaf, aku temenin main basket deh” ucapku berusaha merayu
“ngak ah. Udah ngak
minat.”
“ah, ayolah. Masak ngak mau sih! One by one dengan aku deh”
bujukku dengan senyuman.
“okeee, rekam semua gaya permainanku ya Ri, barangkali ini
yang terakhir” Ucapnya dengan pancaran mata yang kian meredup.
“Apaan sih” Ucapku sambil berlalu.
Kini bbarisan warna itu memang telah memudar, aku tak
menyangkal, aku sempat melihatnya sekilas tadi. Tapi bagiku, tak masalah. Yang
terpenting dia masih disampingku dan aku masih dapat melihat dia tersenyum sore
ini.
“Dit, kamu udah baikan kan! Maaf ya kemarin aku ngak bisa
temenin kamu kemo!” ucapku sambil terus menatapnya
“Apaan sih! Ngak papa kali, jangan sedih gitu dong Ri”
ucapnya sesekali dia menengok dengan bola ditangannya dan tak lupa ia sematkan
senyum indah dibibir pucatnya.
Seakan kehabisan kata, kami pun terdiam. Cukup lama hingga
lamunanku tersadarkan dengan ucapan Radit.
“Ri, aku rasa waktuku kian dekat!” ucapnya dengan raut yang
tak tergambarkan
“Apaan sih, dari tadi ucapannya ngaco. Jangan bilang gitu
dong Dit! Masih ingat dengan janji kita bukan? Percayalah kamu akan selalu
bersamaku. Aku tak akan membiarkan kamu jauh dariku, walau hanya sedetikpun”
“Riri, kamu sadar ngak! Kamu tahu Bulan, saat Mentari datang
ia harus selalu pergi dan tampak menghilang. Padahal bisa aja kan dia tetap
disana, padahal bulan itu masih ingin berbagi terangnya dengan satu atau dua
orang yg masih membutuhkan sinarnya" ucapnya sambil tetap fokus
dengan permainannya.
“lalu, apa hubunganya dengan kamu ?”
Tanyaku tak faham.
“aku itu seperti bulan, sekuat apapun aku berusaha dan
meminta untuk tetap disini, tapi itu semua tetap kehendak Allah. Sekuat apapun
aku meminta jika takdirku sudah datang, aku tak bisa berbuat apa-apa dan harus
tetap meninggalkan kalian bukan” ucapnya tanpa mengalihkan pandangan
“tapi, bukankah bulan selalu muncul esoknya, tetap
menerangi malam kita kan?” bantahku
Dia tidak menjawab’nya tapi tetap tersenyum manis sekali.
Senyum terindah yang akan selalu kukenang.
“Ri, kamu mau berjanjii kan padaku?”
Pintanya dengan menatapku
“Janjii apa ?”
“Seandainya, sang takdir nanti menjemputku, kamu jangan
menangis ya, tetaplah tersenyum padaku. Beri senyum terindahmu untukku.” pintanya
dengan tatapan berharap
“Tolong, jangan berucap seperti itu. Aku akan selalu
bersamamu. Kamu kan udah berjanji kita akan terus bersama sampai nanti. Plisss
jangan kau ingkari, izinkan aku menemanimu!!” racauan itu terus terucap
dari bibirku air mataku yang sedari tadi aku tahan akhirnya leleh juga.
“Riri, mengasihlah sekarang, tapi tidak untuk esok! Ingatlah,
hampir seluruh hidupku selalu bersamamu bukan? Kamu selalu menemaniku dimanapun
aku berada dan kapanpun aku butuh. Tapi untuk yang terakhir, aku nggak mau
egois lagi. Maaf, aku tak ingin apalagi meminta agar kamu terus bersamaku. Saat
aku pergi, tetaplah bertahan disini, sebarkan janji persahabatan kita, ajarkan
pada mereka bahwa persahabatan adalah hal sederhana,dan tidak perlu menukarnya
dengan nyawa, cukup menyimpannya disini” ujarnya sambil meletakkan tanganku
didanya
Kata-katanya mendiamkanku, menghancurkan semua dinding
pertahananku. Hampir seluruh hidupku kulakukan dengannya, menyanyi, menangis,
tertawa kita berbagi berdua. Namun, aku sadar akan kuasaNya. Semua akan kembali
kepadaNya. Dan ini adalah takdir dariNya.
Kami terdiam lagi, tatapan kami sama-sama menuju lurus
kedepan, mengamati sinar matahari yang sedikit demi sedikit termakan oleh senja.
“ayo pulang, udah sore” ucapnya sambil menarik tanganku, dan
menggengamku dengan erat. Seolah hari esok tak ada lagi.
Kami berjalan beriringan saling menautkan jemari kami, memantapkan
setiap langkah , berharap masih ada hari esok yang indah, bukan kehilangan
ataupun perpisahan dan tetap melihat senyuman tanpa ada tangisan.
……………………………………………………………………………………….
Jam tengah berganti hari, hari ini adalah hari yang kuhindari.
meskipun aku sudah berusaha ihklas. Melepasnya adalah daftar pilihan yang sangat
aku hindari. Ya, kini aku berada diatas gundukan tanah dengan nisan yang
bertuliskan Raditya Wijaya tertancap diatasnya. Kini omongan Radit sore itu memang
terbukti, namun air mata ini berkhianat tak mau berhenti.
“maaf, untuk hari ini ijinkan aku menangis. Aku
berjanjii besok aku tak akan ada air mata lagi lagi” batinku berkata
Tak hanya aku yang menangis disini, teman-teman, guru, apalagi
orangtuanya mengangisi kepergiannya. Radit sahabatku yang selalu ada memang
pergi, tapi aku yakin jika jiwanya selalu ada di hatiku seperti janjinya
kepadaku. Dan hari ini aku
resmi melepas sahabatkku Radit Wijaya, namun aku berjanji namanya akan tetap
selalu ada dalam hati dan fikiranku. Selamat jalan Radit.