Tuesday, 11 March 2014

Kamu Sang Bulan


Perlahan kaki ini  melangkah menyusuri jalan setapak menuju sebuah danau kecil. Aroma tanah yang khas dengan tetesan air yang berasal dari ranting masih tercium di indraku. Menambah perasaab haru dan semangat tuk segera sampai dihadapnya. Senyumku kian melebar, tatkala mataku melihat seseorang yang selalu menemaniku tengah duduk bersandar dibawah pohon dengan sesekali tangannya melempar batu kedalam danau.
"hayo” ucapku berniat mengagetkannya
“kamu telat! Pelanginya udah sembunyi!” ucapnya sambil bersungut-sungut dan mengerucutkan bibirnya dan dengan nada datar 
“maaf deh maaf, aku temenin main basket deh” ucapku berusaha merayu
“ngak ah.  Udah ngak minat.”
“ah, ayolah. Masak ngak mau sih! One by one dengan aku deh” bujukku dengan senyuman.
“okeee, rekam semua gaya permainanku ya Ri, barangkali ini yang terakhir” Ucapnya dengan pancaran mata yang kian meredup.
“Apaan sih” Ucapku sambil berlalu.
Kini bbarisan warna itu memang telah memudar, aku tak menyangkal, aku sempat melihatnya sekilas tadi. Tapi bagiku, tak masalah. Yang terpenting dia masih disampingku dan aku masih dapat melihat dia tersenyum sore ini. 
“Dit, kamu udah baikan kan! Maaf ya kemarin aku ngak bisa temenin kamu kemo!” ucapku sambil terus menatapnya
“Apaan sih! Ngak papa kali, jangan sedih gitu dong Ri” ucapnya sesekali dia menengok dengan bola ditangannya dan tak lupa ia sematkan senyum indah dibibir pucatnya.
Seakan kehabisan kata, kami pun terdiam. Cukup lama hingga lamunanku tersadarkan dengan ucapan Radit.
“Ri, aku rasa waktuku kian dekat!” ucapnya dengan raut yang tak tergambarkan
“Apaan sih, dari tadi ucapannya ngaco. Jangan bilang gitu dong Dit! Masih ingat dengan janji kita bukan? Percayalah kamu akan selalu bersamaku. Aku tak akan membiarkan kamu jauh dariku, walau hanya sedetikpun”
“Riri, kamu sadar ngak! Kamu tahu Bulan, saat Mentari datang ia harus selalu pergi dan tampak menghilang. Padahal bisa aja kan dia tetap disana, padahal bulan itu masih ingin berbagi terangnya dengan satu atau dua orang yg masih membutuhkan sinarnya" ucapnya sambil tetap fokus dengan permainannya.
“lalu, apa hubunganya dengan kamu ?” Tanyaku tak faham.
“aku itu seperti bulan, sekuat apapun aku berusaha dan meminta untuk tetap disini, tapi itu semua tetap kehendak Allah. Sekuat apapun aku meminta jika takdirku sudah datang, aku tak bisa berbuat apa-apa dan harus tetap meninggalkan kalian bukan” ucapnya tanpa mengalihkan pandangan
“tapi, bukankah bulan selalu muncul esoknya, tetap menerangi malam kita kan?” bantahku
Dia tidak menjawab’nya tapi tetap tersenyum manis sekali. Senyum terindah yang akan selalu kukenang.
“Ri, kamu mau berjanjii kan padaku?” Pintanya dengan menatapku
“Janjii apa ?”
“Seandainya, sang takdir nanti menjemputku, kamu jangan menangis ya, tetaplah tersenyum padaku. Beri senyum terindahmu untukku.” pintanya dengan tatapan berharap
“Tolong, jangan berucap seperti itu. Aku akan selalu bersamamu. Kamu kan udah berjanji kita akan terus bersama sampai nanti. Plisss jangan kau ingkari, izinkan aku menemanimu!!” racauan itu terus terucap dari bibirku air mataku yang sedari tadi aku tahan akhirnya leleh juga.
“Riri, mengasihlah sekarang, tapi tidak untuk esok! Ingatlah, hampir seluruh hidupku selalu bersamamu bukan? Kamu selalu menemaniku dimanapun aku berada dan kapanpun aku butuh. Tapi untuk yang terakhir, aku nggak mau egois lagi. Maaf, aku tak ingin apalagi meminta agar kamu terus bersamaku. Saat aku pergi, tetaplah bertahan disini, sebarkan janji persahabatan kita, ajarkan pada mereka bahwa persahabatan adalah hal sederhana,dan tidak perlu menukarnya dengan nyawa, cukup menyimpannya disini” ujarnya sambil meletakkan tanganku didanya
Kata-katanya mendiamkanku, menghancurkan semua dinding pertahananku. Hampir seluruh hidupku kulakukan dengannya, menyanyi, menangis, tertawa kita berbagi berdua. Namun, aku sadar akan kuasaNya. Semua akan kembali kepadaNya. Dan ini adalah takdir dariNya.
Kami terdiam lagi, tatapan kami sama-sama menuju lurus kedepan, mengamati sinar matahari yang sedikit demi sedikit termakan oleh senja.
“ayo pulang, udah sore” ucapnya sambil menarik tanganku, dan menggengamku dengan erat. Seolah hari esok tak ada lagi.
Kami berjalan beriringan saling menautkan jemari kami, memantapkan setiap langkah , berharap masih ada hari esok yang indah, bukan kehilangan ataupun perpisahan dan tetap melihat senyuman tanpa ada tangisan.
……………………………………………………………………………………….
Jam tengah berganti hari, hari ini adalah hari yang kuhindari. meskipun aku sudah berusaha ihklas.  Melepasnya adalah daftar pilihan yang sangat aku hindari. Ya, kini aku berada diatas gundukan tanah dengan nisan yang bertuliskan Raditya Wijaya tertancap diatasnya. Kini omongan Radit sore itu  memang terbukti, namun air mata ini berkhianat tak mau berhenti.
 “maaf, untuk hari ini ijinkan aku menangis. Aku berjanjii besok aku tak akan ada air mata lagi lagi” batinku berkata
Tak hanya aku yang menangis disini, teman-teman, guru, apalagi orangtuanya mengangisi kepergiannya. Radit sahabatku yang selalu ada memang pergi, tapi aku yakin jika jiwanya selalu ada di hatiku seperti janjinya kepadaku. Dan hari ini aku resmi melepas sahabatkku Radit Wijaya, namun aku berjanji namanya akan tetap selalu ada dalam hati dan fikiranku. Selamat jalan Radit.