Monday, 22 October 2018

Cerpen - Jangan Hakimi Aku

Matanya sulit terpejam. Rasa takut terus merasuki jiwanya. Kilasan-kilasan pembicaraan itu terus menghantuinya. Bahkan jam sudah menunjukkan pukul 2, tapi matanya masih menunjukkan kekuatannya. Ingatannya kembali memutar lagi 
Namanya Alara, katanya dia berandalan tapi sungguh bukan itu maksudnya. Katanya dia bodoh, nyatanya dia emang belum mampu. 
"Jam berapa ini Ra, baru datang aja." Seru teman sekelasnya 
Tanpa jawaban, ia hanya tersenyum masam. 
"Tugasmu sudah selesai Ra? Eh palingan juga belum!." Enek teman yang lain
"Kalian ini jangan begitu dong, eh Ra ini tugasku salin saja." Tambah yang lain sambil melempar bukunya dan dengan tawa mengejek yang kentara. 
Lantas apa yang dia lakukan? Terdiam dan duduk di pojok ruangan. Menanti keajaiban ada yang mau menemaninya. Sungguh kesiangan bukan dirinya, melainkan ia harus mengerjakan pekerjaan rumah dan sungguh ia bingung bagaimana cara mengerjakannya.
Banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benaknya. Ingatannya kembali memutar percakapannya dengan sang Mama 
"Ra, belajar dong. Kamu ini kerjaannya gambar aja. Besok kamu itu ujian. Mama nggak mau ya nilai kamu ada yang merah lagi." Tegur Mamanya 
"Iya Ma." Jawab Lara 
"Iya-iya, contoh itu Kakak kamu, nilainya selalu bagus. Selalu dapat peringkat. Kapan kamu bisa kayak gitu. Kerjaanmu cuma main Adan gambar saja." Tambah mamanya dengan kata-kata sinis. 
Mendengar itu Alara hanya terdiam. Tiada hari tanpa ia dibandingkan. Bukan hanya dengan sang Mama melainkan juga seluruh keluarganya. Bukan, bukan keinginannya menjadi demikian. Ia hanya tak bisa, dalam setiap apa yang ia baca tulisan-tulisan itu terus berputar. 
"Lara, kamu ini bisa berpakaian nggak sih." Tegur sang Nenek 
"Bisa Nek, ini Lara berpakaian." Jawabnya 
"Kamu ini cewek, mbokya pakai gaun gitu. Cewek kok kayak cowok." Sinis sang nenek 
"Ini style Lara Nek." Kalem Lara 
"Style anak jalanan iya. Contoh itu Kakak kamu atau sepupu-sepupumu kamu. Sudah cantik, pinter dandan, cantik lagi. Kamu? Model kok kayak anak urakan. Kemarin Nenek ketemu kamu ya di jalan. Kamu temenan sama siapa itu?" 
"Dia teman-teman Lara Nek, mereka semua baik Nek." Jawab Lara 
"Jangan bikin malu keluarga Lara. Makanya tingkah kamu ini seperti tingkah berandalan, temanmu saja berandalan semua. Pokoknya mulai besok kamu nggak boleh ketemu atau main sama mereka." Cibir sang Nenek sambil pergi meninggalkan Lara. 
Tak ada yang membelanya, tak ada juga yang menguatkannya. Apa yang ia lakukan selalu salah. Tak pernah benar. Nyatanya dia disana bukan karena dia ingin menjadi berandal, melainkan mengajarkan pada anak-anak jalanan tentang cara menggambar dan menyanyi. 
Tak ada yang tau apa yang sebenarnya ia lakukan. Apalagi dengan penyakit disleksia yang ia derita.  Baginya hanya orang yang tak mengenal Lara lah yang memahaminya. Harapannya hanya satu, mereka tau apa yang Kata lakukan sebenarnya tidak salah, melainkan memberikan manfaat bagi orang lain. 
Lara tak butuh pujian, yang ia butuhkan hanya perlakuan yang sama. Lara tak butuh sanjungan, yang ia butuhkan sebait kata positif yang menaikkan energinya. Mungkin tak ada yang tau betapa berat hidupnya, menjadi yang tersisihkan sungguh tak enak. Apalagi tersisih dalam pertemanan, lebih parah lagi keluarga. Stop membuat Alara Alara yang lain, supportlah dan dekap Alara yang lain. Sungguh, dikucilkan sangat menyiksa. Bayangkan saja betapa sakitnya dalam posisi Alara. 

0 comments:

Post a Comment