Tuesday, 16 October 2018

Cerpen-Ternyata Aku Salah?


“Ras, sudah jam 9 nih. Gih pulang, nanti nyokap lo nyariin lagi”
“Bentaran deh, masih sore ini” Jawabku sambil memberenggut.
Tuuut....tuuut
­Mama calling
“Nah loh benerkan apa yang gue bilang, nyokap lo udah telfon tuh” Ucap Tiara sambil diikuti tawa membahana teman-temanku. Tanpa menunggu lebih lama, aku sedikit menjauh dari keberadaan mereka.
Perkenalkan namaku Larasati, biasa dipanggil Laras. Mahasiswi semester akhir disebuah Universitas Negeri di ibukota provinsi tempatku dilahirkan dan dibesarkan. Semenjak kuliah, aku memilih kos karena letak rumahku yang berbeda kota dengan tempatku menuntut ilmu. Menjadi anak kos, bukan berati predikat anak mama bakalan ilang, bahkan julukan itu jadi bualan teman-teman ketika jam-jam malam gini ataubahkan ketika jam-jam makan siang. Bosen? Kadang iya. Kadangtuh rasanya aku  udah dewasa gitu, bukan lagi anak kecil yang apa-apa harus lapor.
“iya Ma” jawabku enggan
“Adek dimana? Sudah pulang kan” Tanya Mama dari ujung telepon
“iyaa-iyaa ini adek pulang”
“segera loh ya, sudah malam ini. Jangan lupa makan, jaga kesehatan”
“hm”
Dengan wajah kesal kuambil tas yang terletak dimeja yang kududuki bersama teman-temanku tadi.
“Guuys, gue pulang dulu ya” pamitku dengan muka keruh
“hahaha, iya cepet pulang sana. Dasar anak mama” Jawab teman-temanku kompak sambil ketawa.
Rasa dongkol diperlakukan seperti itu sering banget hinggap dihati. Keluhan kenapa mamaku tidak seperti mama teman-temanku kadangkala hinggap dan menumbuhkan rasa iri dihati.
Dengan perasaan dongkol kulangkahkan kaki ini menuju Sipaul, motor matic pink yang selalu menemaniku dan mendengar curhatanku. Dan tiba-tiba
“Eh Ras, mau pulang?” Tanya Meisya, teman satu kampus dan satu kosku
“Iya nih Sya, mama udah nelfon melulu” jawabku dengan rengutan.
“Enaknya jadi lo Ras” Ujarnya sambil menatapku sendu
“Enak apanya sih, menyebalkan tauk!” ujarku sewot
“Kalau gue bisa, gue pengen diposisi lo Ras” Tutupnya sebelum meninggalkanku yang terdiam memfikirkan omonngannya.
Sepanjang jalan aku terus memfikirkan apa yang dikatakan Meisya. Apa yang enak jadi anak yang terlalu dioverproctetifin orangtua. Dan menurutku pendapatku enggak salah dan apa yang dikatakan Meisya itu salah karena dia nggak ngerrasain diposisiku.
Malam kiat larut, tetapi mataku sulit terpejam. Kulangkahkan kaki menuju loteng kos, tempat dimana aku sering  menghabiskan waktu sambil melihat keindahan bulan dan bintang. Semakin dekat dengan loteng semakin ku dengar suara isakan tangis tertahan. Nyaliku menciut untuk melangkahkan kaki. Tapi aku yakin itu suara manusia dan cewek.
Nampak dikursi yang memang sudah ada diatas loteng, aku mellihat cewek yang sedang menangis dengan sengukan yang cukup keras dan meremas hati.
“Sya” Tegurku setalah kusadari kalau cewek itu adalah Meisya.
Meisya hanya menoleh sekilas, dan tetap melanjutkan tangisannya
“Lo tau Ras, kenapa gue kepengen diposisi lo?” Tanyanya retorik
Tak menjawab kuhanya diam, duduk disebelahnya dan mengelus punggungnya untuk meredakan tangisnya.
“Gue terlahir dengan keluarga yang menurut orang sempurna, ta..ppiii 12 tahun lalu saat umur gue bahkan masih menginjak usia 10 tahun keluarga yang gue anggap sempurna hancur tak bersisa. Tak ada suara lembut mama yang selalu mengingatkan gue, tak ada lagi tangan lembut papa yang selalu memeluk gue kala gue sedih. Semuanya hilang.” Ceritanya dengan suara sedih.
Tak kuucapkan sepatah kata apapun, yang bisa kulakukan hanya mengelus pundaknya.
“Mereka bertengkar hebat mulai hari itu, tak ada lagi yang ditutupin dari gue. Kata...mereka cerai adalah jalan tebaik buat gue dan mereka. Nyatanya? Lo tau? Dikala mereka seneng dengan keluarga baru mereka, lalu dengan gue? 12 tahun gue hidup dengan rasa trauma yang terus membekas.. SMA gue dibully dan nggak ada tempat buat gue berbagi. Baaahkan taip hari gue baruu bisa tidur jam 3 pagi. Kala gue mau nutup mata, ketakutan, bullyan, cercaan, dan pertengkaran itu terus membayang-bayangi gue. Gue harus apa Ras?” Isaknya semakin dalam.
Tangganku yang awalnya dibahunya kugunakan untuk mengngenggam tangganya, menyalurkan kekuatan untuknya.
Malam itu aku mulai berfikir, betapa beruntungnya aku. Punya mama-papa yang sangat perhatian, punya orangtua yang nggak ngebiarin aku salah arah, punya mereka yang selalu ada dengan jutaan cintanya untukku. Dan mulai malam itu, aku Laras, mulai berjanji dengan diriku sendiri buat selalu dan terus berusaha buat ngga ngebuat orangtuaku terlalu khawatir denganku. Dan mulai menujukkan kasih sayangku pada mereka. Sungguh, betapa baiknya Allah padaku, menghadirkan mereka dalam perjalanan hidupku.
Dan untuk Meisya aku sendiri tak  tau apa yang harus kulakukan untuk membantunya. Hanya do’a dan bahu serta pelukan buat mendengar keluh kesahnya yang bisa kusediakan untuknya. Dan mulai malam itu, aku mendeklarasikan diriku sebagai sahabat Meisya. Sosok yang membantuku membuka mata dan menyadarkanku untuk lebih bersyukur memiliki mereka (orangtua) dalam hidupku.



0 comments:

Post a Comment