“Ras, sudah jam 9 nih. Gih pulang, nanti nyokap lo nyariin lagi”
“Bentaran deh, masih sore ini” Jawabku sambil memberenggut.
Tuuut....tuuut
Mama calling
“Nah loh benerkan apa yang gue bilang, nyokap lo udah telfon tuh” Ucap
Tiara sambil diikuti tawa membahana teman-temanku. Tanpa menunggu lebih lama,
aku sedikit menjauh dari keberadaan mereka.
Perkenalkan namaku Larasati, biasa dipanggil Laras. Mahasiswi semester
akhir disebuah Universitas Negeri di ibukota provinsi tempatku dilahirkan dan
dibesarkan. Semenjak kuliah, aku memilih kos karena letak rumahku yang berbeda
kota dengan tempatku menuntut ilmu. Menjadi anak kos, bukan berati predikat
anak mama bakalan ilang, bahkan julukan itu jadi bualan teman-teman ketika
jam-jam malam gini ataubahkan ketika jam-jam makan siang. Bosen? Kadang iya.
Kadangtuh rasanya aku udah dewasa gitu,
bukan lagi anak kecil yang apa-apa harus lapor.
“iya Ma” jawabku enggan
“Adek dimana? Sudah pulang kan” Tanya Mama dari ujung telepon
“iyaa-iyaa ini adek pulang”
“segera loh ya, sudah malam ini. Jangan lupa makan, jaga kesehatan”
“hm”
Dengan wajah kesal kuambil tas yang terletak dimeja yang kududuki
bersama teman-temanku tadi.
“Guuys, gue pulang dulu ya” pamitku dengan muka keruh
“hahaha, iya cepet pulang sana. Dasar anak mama” Jawab teman-temanku
kompak sambil ketawa.
Rasa dongkol diperlakukan seperti itu sering banget hinggap dihati.
Keluhan kenapa mamaku tidak seperti mama teman-temanku kadangkala hinggap dan
menumbuhkan rasa iri dihati.
Dengan perasaan dongkol kulangkahkan kaki ini menuju Sipaul, motor matic pink yang selalu
menemaniku dan mendengar curhatanku. Dan tiba-tiba
“Eh Ras, mau pulang?” Tanya Meisya, teman satu kampus dan satu kosku
“Iya nih Sya, mama udah nelfon melulu” jawabku dengan rengutan.
“Enaknya jadi lo Ras” Ujarnya sambil menatapku sendu
“Enak apanya sih, menyebalkan tauk!” ujarku sewot
“Kalau gue bisa, gue pengen diposisi lo Ras” Tutupnya sebelum
meninggalkanku yang terdiam memfikirkan omonngannya.
Sepanjang jalan aku terus memfikirkan apa yang dikatakan Meisya. Apa
yang enak jadi anak yang terlalu dioverproctetifin orangtua. Dan menurutku
pendapatku enggak salah dan apa yang dikatakan Meisya itu salah karena dia nggak
ngerrasain diposisiku.
Malam kiat larut, tetapi mataku sulit terpejam. Kulangkahkan kaki
menuju loteng kos, tempat dimana aku sering
menghabiskan waktu sambil melihat keindahan bulan dan bintang. Semakin
dekat dengan loteng semakin ku dengar suara isakan tangis tertahan. Nyaliku menciut
untuk melangkahkan kaki. Tapi aku yakin itu suara manusia dan cewek.
Nampak dikursi yang memang sudah ada diatas loteng, aku mellihat cewek
yang sedang menangis dengan sengukan yang cukup keras dan meremas hati.
“Sya” Tegurku setalah kusadari kalau cewek itu adalah Meisya.
Meisya hanya menoleh sekilas, dan tetap melanjutkan tangisannya
“Lo tau Ras, kenapa gue kepengen diposisi lo?” Tanyanya retorik
Tak menjawab kuhanya diam, duduk disebelahnya dan mengelus punggungnya
untuk meredakan tangisnya.
“Gue terlahir dengan keluarga yang menurut orang sempurna, ta..ppiii 12
tahun lalu saat umur gue bahkan masih menginjak usia 10 tahun keluarga yang gue
anggap sempurna hancur tak bersisa. Tak ada suara lembut mama yang selalu
mengingatkan gue, tak ada lagi tangan lembut papa yang selalu memeluk gue kala
gue sedih. Semuanya hilang.” Ceritanya dengan suara sedih.
Tak kuucapkan sepatah kata apapun, yang bisa kulakukan hanya mengelus
pundaknya.
“Mereka bertengkar hebat mulai hari itu, tak ada lagi yang ditutupin
dari gue. Kata...mereka cerai adalah jalan tebaik buat gue dan mereka. Nyatanya?
Lo tau? Dikala mereka seneng dengan keluarga baru mereka, lalu dengan gue? 12 tahun
gue hidup dengan rasa trauma yang terus membekas.. SMA gue dibully dan nggak
ada tempat buat gue berbagi. Baaahkan taip hari gue baruu bisa tidur jam 3
pagi. Kala gue mau nutup mata, ketakutan, bullyan, cercaan, dan pertengkaran itu
terus membayang-bayangi gue. Gue harus apa Ras?” Isaknya semakin dalam.
Tangganku yang awalnya dibahunya kugunakan untuk mengngenggam tangganya,
menyalurkan kekuatan untuknya.
Malam itu aku mulai berfikir, betapa beruntungnya aku. Punya mama-papa
yang sangat perhatian, punya orangtua yang nggak ngebiarin aku salah arah,
punya mereka yang selalu ada dengan jutaan cintanya untukku. Dan mulai malam
itu, aku Laras, mulai berjanji dengan diriku sendiri buat selalu dan terus
berusaha buat ngga ngebuat orangtuaku terlalu khawatir denganku. Dan mulai
menujukkan kasih sayangku pada mereka. Sungguh, betapa baiknya Allah padaku, menghadirkan
mereka dalam perjalanan hidupku.
Dan untuk Meisya aku sendiri tak
tau apa yang harus kulakukan untuk membantunya. Hanya do’a dan bahu serta
pelukan buat mendengar keluh kesahnya yang bisa kusediakan untuknya. Dan mulai
malam itu, aku mendeklarasikan diriku sebagai sahabat Meisya. Sosok yang
membantuku membuka mata dan menyadarkanku untuk lebih bersyukur memiliki mereka
(orangtua) dalam hidupku.
0 comments:
Post a Comment